MEWUJUDUKAN BENTENG KEBUDAYAAN DARI UNNES UNTUK INDONESIA

Universitas Negeri Semarang > FEB UNNES > MEWUJUDUKAN BENTENG KEBUDAYAAN DARI UNNES UNTUK INDONESIA

Sungguh bangga bagi penulis bisa berada dalam iklim kemajemukan UNNES.
Dengan mahasiswa yang berasal dari penjuru tanah air, ada proses saling belajar antar
mahasiswa dalam memahami kekayaan bangsa Indonesia di bidang kebudayaan. Ini
keunikan yang UNNES miliki. Bagi penullis, sebetulnya tidak perlu dibangun patung
Garuda Pancasila di depan gerbang utama, karena iklim kemajukan mahasiswa UNNES
sudah tertanam secara organik. Anggaran untuk proyek simbolik semacam itu etisnya
dialokasikan untuk penyelesaian pembangunan ruang doa bagi mahasiswa non muslim.
Terhitung pada tahun 2022 jumlah mahasiswa UNNES sebanyak 49.764 orang.
Dengan jumlah mahasiswa sebesar itu, ada potensi untuk penggalangan massa dalam
bidang pengembangan kebudayaan. Ditambah lagi dengan keberadaan Fakultas Bahasa
dan Seni yang dapat menjadi ujung tombak dalam penatarannya. Bahkan, jiwa seni
mahasiswa UNNES sudah teruji oleh khalayak umum dengan berbagai prestasi dan aksi
dilapangan.
Bila merujuk pada laporan kinerja UNNES 2021, tercantum target UNNES dari
2021-2026 tentang indikator wawasan konservasi pada bagian Kampus Berbudaya Luhur
yang menegaskan aspek pelestarian, pengkajian dan implementasi karya seni budaya
dan olahraga nasional. Hingga pada puncaknya kita mencita-citakan UNNES mampu
menjadi eduwisata nasional bahkan internasional.
Ada keunikan lain yang penulis lihat sebagai peluang yang kita miliki, yakni
tersebarnya civitas UNNES kedalam organ-organ di tingkat regional dan nasional.
Jejaring ini dapat membantu kita untuk publikasi karya, penyusunan wacana hingga
pengawalan realisasi tindak lanjut. Sebagai contoh yaitu keberadaan civitas UNNES yang
aktif di Dewan Kesenian Semarang, namun cenderung tidak mendapatkan tempat
berekspresi di internal kampus itu sendiri. Bahaya latennya adalah bila aspek kebudayaan
hanya berpusat di segi simbolis-seremonial, maka substansi untuk membumikan
semangat benteng kebudayaan terhenti pada sesi sambutan birokrasi. Kata kunci
pertama yang bisa kita garis bawahi yaitu ruang berekspresi yang harus terjamin.
Tantangan besar lain menurut penulis yaitu sikap keambisiusan UNNES terhadap
label World Class University (WCU) sehingga mengesampingkan pengembangan
kebudayaan secara terukur dan tersrtuktur. Secara implisit UNNES cenderung dipandang
sebagai “kampus rakyat” yang dihuni oleh mahasiswa dari berbagai daerah. Upaya
modernitas melalui bangunan fisik rasanya sudah banyak dilakukan oleh kampus lain.
Dengan kekayaan keragaman budaya yang UNNES miliki, seharusnya kita mampu
mengedepankan aspek keragaman budaya sebagai penopang utama untuk menuju
WCU. Kata kunci kedua yang bisa kita garis bawahi yaitu komitmen yang tertuang dalam
rancangan upaya tindak lanjut terhadap aspek keragaman budaya sebagai ujung tombak
pengembangan reputasi UNNES.
Berwawasan konservasi mengandung makna sebagai cara pandang dan sikap
perilaku yang berorientasi pada prinsip pengawetan, pemeliharaan, penjagaan,
pelestarian dan pengembangan sumber daya alam, lingkungan dan nilai-nilai sosial
budaya. Sebagai universitas yang berwawasan konservasi, tanggung jawab UNNES
bukan hanya menghasilkan lulusan yang cerdas, namun juga lulusan dan civitas
akademika yang unggul dan berkarakter serta merumuskan dan mengimplementasikan
solusi untuk menyelesaikan permasalahan akibat perkembangan zaman.
Ketika perhelatan wisuda dilaksanakan, kita masih mendengar suara gamelan
yang menemani prosesi sakral tersebut. Suasana tersebut menambah kehangatan untuk
melepas para mahasiswa menjadi masyarakat sepenuhnya. Memang tidak semua proses
wisuda di universitas ada yang ditemani dengan alunan gamelan. Tetapi UNNES memiliki
tradisi ‘gamelanan’ entah sejak tahun berapa, dan menurut penulis hal tersebut harus
terus dilestarikan. Sekarang kita berekspektasi bila alunan gamelan tersebut dapat
disaksikan oleh khalayak umum. Penulis yakin, kegiatan tersebut pasti akan mengundang
banyak pihak dan memberikan kesan bahwa UNNES benar-benar konsisten dalam
menampilkan kekayaan budaya yang kita miliki.
Namun, persoalan yang kita hadapi yaitu apakah ada kegiatan Organisasi
Mahasiswa (Ormawa) yang khusus untuk memberikan ruang kepada kekayaan budaya,
baik itu alat musik ataupun seni tari ? Anggap saja kegiatan ini diluar teman-teman
Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Bila hanya mengandalkan Ormawa FBS untuk
melaksanakan kegiatan kebudayaan, penulis nilai hal tersebut akan kurang maksimal dan
menimbulkan kertegantungan eksistensi. Bukankah menjaga dan melestarikan
kebudayan adalah tanggung jawab dan tugas kita bersama?. Kata kunci ketiga yang bisa
kita garis bawahi adalah peran Ormawa dalam menciptakan kegiatan yang
bersinggungan dengan upaya pelestarian budaya.
Reformasi Kelembagaan dan Iklim Akademik
Penulis menggunakan dua pendekatan untuk mengupas pembahasan poin ini,
yakni pendekatan struktural dan kultural. Dua pendekatan tersebut penulis nilai sebagai
suatu yang komplementer. Dalam tatanan lingkungan UNNES, kelembagaan yang kita
miliki cenderung terjebak dalam rutinitas yang hanya menggugurkan kewajiban. Padahal
keberadaan kelembagaan memiliki daya pukul lebih kuat karena sudah disahkan oleh
universitas dan sumber pendanaan yang jelas.
Kelembagaan mahasiswa yang ingin penulis tawarkan konsepnya yaitu mereka
yang diberikan keleluasaan dalam mengeskpresikan kegiatannya namun dengan
referensi yang sudah disepakati bersama. Dalam hal pelestarian keragaman budaya, hal
terkecil yang bisa diaplikasikan yaitu penggunaan lagu-lagu daerah disaat sebelum dan
sesudah acara. Selama ini ada kecenderungan penggunaan lagu-lagu barat untuk
selingan kegiatan kampus. selain itu, mimbar kreasi yang berisikan penampilan puisi dan
seni tari cenderung hanya dilakukan oleh mahasiswa FBS. Itu pun yang menyaksikan
mayoritas mahasiswa FBS. Penulis melihat masih sedikit Ormawa yang memiliki fokus
lebih terhadap pelestarian kebudayaan.
Hingga pada akhirnya reformasi kelembagaan dapat diartikan sebagai pemberian
fokus pada aspek kebudayaan secara terarah, terukur dan terstruktur. Terarah yang
berarti fokus pengembangan kebudayaan bisa tertuang dalam rapat kerja setiap lembaga.
Terukur yang berarti cara untuk mewujudkan dan melestarikan pengembangan
kebudayaan bisa dinilai melalui indikator yang telah ditetapkan. Terstruktur yang berarti
setiap lembaga diharapkan untuk mengaplikasikan perencanaan pengembangan
kebudayaan dalam realisasi program kerjanya.
Tantangan Pascapandemi
Para ahli menyebutkan pola kehidupan pascapandemi sebagai adaptasi
kebiasaan baru. Beberapa aspek dalam kehidupan sehari-hari mengalami perubahan.
Contohnya yaitu bentuk perkuliahan yang terkadang dilaksanakan secara hybrid. ternyata
dampak dua tahun kuliah daring banyak mempengaruhi iklim akademik yang mulai
semester ini dilaksanakan secara luring.
Penulis melakukan diskusi dengan mahasiswa FBS untuk melihat langsung
fenomena yang terjadi di fakultas tersebut. Iklim akademik di FBS mengajarkan budaya
senyum, sapa, salam dan srawung (4S). Sehingga kita sering menemukan keakraban
mahasiswa FBS disegala tempat, entah itu di kantin, kelas bahkan di jalan sekalipun. Para
kakak tingkat mengajarkan budaya 4S untuk menanamkan jiwa keramahan dan
kepedulian terhadap sesama. Keberlangsungan budaya 4S dapat menjadi daya tawar
pembeda antara mahasiswa FBS dengan fakultas lainnya.
Selain itu, ketika masa pengenalan kehidupan kampus, setiap mahasiswa pada
Prodi Sendratasik diajarkan paradigma harus dekat dengan dosen, akrab dengan kaka
tingkat, guyub dengan teman satu angkatan dan menjalin silaturahmi dengan alumni.
Akibat terbangunnya paradigma ini, Prodi Sendratasik terstigmakan menjadi prodi yang
paling akrab dan kompak.
Pandemi covid-19 ternyata merubah berbagai aspek. Salah satunya yaitu
eksistensi iklim kebudayaan di FBS. Mahasiswa FBS, khususnya Angkatan 2019, menilai
ada perubahan perilaku dari mahasiswa angkatan 2020 sampai 2022. Fenomena ini
menjadi kegelisahan bersama. Lantas, bagaimana kita memulihkan hal tersebut?
Perlu rasanya ada kebijakan yang dapat mengikat namun dengan implementasi
cara kerja yang friendly. Bagaimana caranya? Penulis rasa ini lah saatnya setiap jurusan
untuk berpartisipasi lebih dalam mempertajam kurikulumnya, khususnya di bidang
kebudayaan. Selain itu, peran Ormawa di tingkat jurusan, fakultas dan universitas harus
berkomitmen untuk memperkenalkan, merawat dan melestarikan kebudayaan yang ada.
Tantangan yang terjadi saat ini adalah adaptasi kebiasaan baru pascapandemi jangan
merubah substansi kebudayaan terkait iklim akademik yang sudah terbangun selama ini.
Terjebak dalam Modernitas yang Keliru
Penulis dapat merasakan transformasi kebiasaan mahasiswa UNNES. Memang
upaya modernitas tidak bisa dihalang-halangi. Namun, setidaknya ada benteng atau
pondasi yang perlu diajarkan kepada mahasiswa agar tidak mudah terombang-ambing
oleh perubahan zaman. Mulai dari cara berpakaian, bicara hingga perilaku mahasiswa
UNNES cukup berubah dibanding sebelum tahun 2019. Mempertahankan sikap ”ndeso”
tidak selalu terstigmakan negatif. Justru dari sikap ”ndeso” ini ada kekayaan kebudayaan
yang patut kita gali, modifikasi, dan lestarikan. Pada titik ini lah kita dihadapkan pada
sebuah pilihan, akankah kita meninggalkan aset kebudayaan yang telah tertanam atau
memilih untuk menyesuaikan modernitas yang disisipkan pada kebudayaan yang ada?
Menjadi beda adalah pilihan. Dengan memperkenalkan kekayaan budaya yang
ada, UNNES akan menjadi patron di panggung nasional. Seperti yang telah penulis
singgung dimuka, sebagian umum universitas akan berambisi untuk mewujudkan kampus
kelas dunia/WCU. Tidak terkecuali dengan UNNES. Namun, kita punya kekayaan lebih
yang semestinya harus digali dan diperkenalkan kepada pihak luar, yakni aspek
kebudayaan. Penulis mengharapkan UNNES mampu menjadi universitas panutan dalam
pengembangan kebudayaan sehingga kemodernitasan UNNES bersumber dari
modifikasi kebudayaan itu sendiri.
Kegiatan berupa festival kebudayaan harus menjadi prioritas utama di UNNES.
Kurikulum yang mengedapankan nilai budaya harus dibumikan kepada seluruh entitas
UNNES, khususnya Ormawa. Sebab, Ormawa inilah yang bersentuhan langsung dengan
mahasiswa di lapangan. Ini bukan pekerjaan mudah. Namun, bila tidak kita evaluasi
sekarang maka penyesalan akan datang dikemudian hari.
UNNES cerdas untuk Indonesia emas semoga tidak berhenti pada sorak-sorai
slogan saja.

 

Penulis: FAJAR RAHMAT SIDIK

Leave a Reply

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: