MENIADAKAN ZERO SUM GAME DALAM SEBUAH KONTESTASI

Universitas Negeri Semarang > FEB UNNES > MENIADAKAN ZERO SUM GAME DALAM SEBUAH KONTESTASI

oleh : Muhammad Feriady

Kontestasi dalam beberapa bulan terahir menjadi kata khas yang seringkali diperbincangkan baik dalam surat kabar nasional maupun lokal. Kata ini seringkali membersamai tema pemilihan kepala daerah 2018 ataupun persiapan pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 mendatang.

Kontestasi sendiri berasal dari kata kontes yang dalam KBBI diartikan sebagai perlombaan atau pemilihan. Namun agaknya kata kontestasi dalam artian yang lebih sempit ahir-ahir ini mengarah pada adu gagasan dan strategi politik dalam memperebutkan simpati masyarakat.

Pada masa era keterbukaan seperti sekarang ini kontestasi tidak hanya melulu soal pertarungan antar elit yang beradu gagasan memperebutkan simpati rakyat, pun juga pertarungan antar sesama rakyat (pendukung dan simpatisan) untuk saling mengunggulkan calon yang diusungnya. Hal ini tak ayal menyebabkan berbagai gejolak social yang tak jarang mamicu konflik.

Berbagai bibit permusuhan dan perpecahan tak lagi dapat dihindari manakala masyarakat justru terlihat lebih agresif dalam pertarungan untuk membenarkan pilihan politiknya. Hal ini tentu saja berbahaya dan mengancam stabilitas nasional bahkan keberadaan NKRI sebagai negara yang majemuk dengan perbedaan horizontal yang beraneka. Walaupun cerminan ini wajar terjadi pada sebuah negara demokrasi setelah sekian lama terkurung dalam tirani.

Fenomena kontestasi seperti ini menurut saya tak ubahnya seperti sebuah pola dalam Game Theory yang disebut Zero Sum Game. Zero Sum Game pertamakali dipublikasikan pada tahun dalam buku “Theory of Games and Economic Behavior” pada tahun 1944 oleh John Von Neumann dan Oscar Morgenstrern.

Zero sum game adalah kondisi yang menggambarkan bahwa jumlah keuntungan dan kerugian dari seluruh peserta dalam sebuah permainan adalah Nol. Artinya keuntungan yang dimiliki atau didapatkan oleh seorang pemain berasal dari kerugian yang dialami oleh pemain lainya. Hal ini pasti ada dalam sebuah game, namun apakah zero sum game ini menjadi pantas apabila terjadi dalam kontestasi yang katanya bertujuan untuk kepentingan bangsa dan negara?

Menyoal tentang pertarungan di akar rumput oleh simpatisan pendukung pasangan calon peserta pemilu tentu saja merupakan hal yang merugikan apabila terjadi kondisi zero sum game didalamnya. Betapa tidak, Pendukung dari “si kalah” akan dibully habis dan pendukung “si menang” seolah menjadi yang empunya negara.

Pada babak selanjutnya giliran pendukung “si kalah” menjadi pengkritik serba tahu dan pendukung “si menang” menjadai objek serba salah. Kompetisi yang dilakoni para elit seolah menempatkan masyarakat sebagai serdadu perang dengan berbagai gerakan masiv di social media bahkan dunia nyata, sementara para elit sibuk menikmatinya. Sebuah kontestasi yang berahir layaknya permainan judi di meja poker dengan zero sum game didalamnya, padahal hakikatnya proses ini adalah untuk kepentingan bangsa dan negara.

Non Zero Sum Game

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mungkin proses yang sejak 2014 bahkan sejak pertamakali reformasi bergulir yang selalu menempatkan serdadu rakyat dalam pertarungan ini berahir dengan Non Zero sum game (kebalikan Zero Sum Game)? Mungkinkah semua pendukung peserta kontestasi menjdai kelompok yang sama-sama menang? Pertanyaan serupa pasti terngiang dalam banyak benak masyarakat yang sudah terlalu jenuh dengan berbagai pertarungan antar pendukung dan simpatisan yang bahkan melewati batas rasional yang mereka punya.

Didalam Game Theory sebenarnya kondisi yang terjadi tidak harus Zero Sum Game, dapat juga berlaku Non Zero Sum Game dengan hasil win-win atau lose-lose solution. Keadaan ini tentu akan berlaku dengan asumsi kelompok pemilih disini adalah orang yang melakukan permainan.

Kita ibaratkan mereka seperti halnya perusahaan yang menetapkan strategi dalam pasar. Mereka bebas menentukan kriteria pemimpin seperti apa yang layak untuk mereka. Keadaan ini berbeda dengan realita saat ini  dimana kebanyakan pemilih dan simpatisan justru menjadi pasar yang menjatuhkan pilihanya dengan tidak rasional.

Metode lain dalam Game theory dapat menjelaskan kondisi win-win solution ini, salah satunya adalah Nash equilibrium yang dipopulerkan oleh Jhon Nash 1950. theory ini menjelaskan bahwa salah satu pemain akan menyusun sebuah strategi berdasarkan strategi yang dilakukan oleh pemain lawan.

Permasalahanya adalah kita dihadapkan pada ketidaktahuan kita terhadap keinginan pemain lawan, dalam Game Theory disebut sebagai the Prisoners dilemma. Demikian seperti halnya para pendukung dan simpatisan pasangan calon yang sama-sama tidak mengetahui sebenarnya apa yang penting dan diinginkan oleh pendukung dan simpatisan lainya.

Itu sebabnya Nash mengatakan bahwa Equilibrium Nash hanya cocok untuk analisis jangka pendek, dalam jangka Panjang sebagiknya para pelaku permainan berkerjasama. Hal ini didukung kuat oleh ilmuan peraih Nobel lainya seperti Thomas C Schelling dan Robert Aumann.

Pada tahap selanjutnya dalam Game Theory adalah metode Enforcing a Cartel, dimana didalam pasar duopilis perusahaan dapat menetapkan sendiri harga mereka, kemudian terjadi persaingan harga. Akan aman jika mereka menetapkan harga sesuai kesepakatan dan memperoleh untung bersama sebanyak-banyaknya.

Demikian dengan para pendukung dan simpatisan, alangkah baiknya jika mereka duduk Bersama kemudian mendiskusikan kriteria calon pemimpin yang ideal menurut mereka dan syarat wajib yang harus dimiliki. ketika terjadi kontestasi dan kedua calon yang mereka usung bertarung mereka tidak perlu beradu fisik dan pikiran, karena siapapun yang menjadi pemenangnya pada dasarnya adalah sama.

Hal ini dikarenakan kriteria calon yang mereka bela sudah disepakati sama. Apabila ini bisa diterapkan tentunya siapa yang menjadi pemenang dalam kontestasi akan diterima oleh semua. Demikian juga dengan yang kalah dalam kontestasi maka akan merasa menjadi pemenang bersama dari hasil yang ada.

Pada pandangan yang disampaikan penulis idealnya kesepakatan-kesepakatan tentang kriteria calon yang akan dipilih beserta syarat yang harus dimiliki merupakan hal yang substantive bagi masing-masing pendukung.

Namun seperti halnya pada Game Theory dalam menganalisis perilaku pasar oligopoli syarat yang paling utama adalah jika semua pemain dalam permainan ini melakukan tindakan rasional. Pertanyaan yang tidak dapat dijawab saat ini adalah apakah para pendukung dan simpatisan bahkan diri kita adalah orang yang berpikir rasional dalam pemilihan umum?

Leave a Reply

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: