Sebagai negara maritim, potensi kelautan di Indonesia sangat besar untuk dikembangkan dan bernilai ekonomis. Sumberdaya laut Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi komoditas ekspor yang memenuhi pasar-pasar dunia. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan ITC Trademap, nilai ekspor produk perikanan Indonesia pada 2021 mencapai USD4,06 miliar atau tumbuh positif 6,92 tiap tahunya. Hal ini merupakan pembuktian betapa berdayanya lautan Indonesia.
Meskipun kaya akan sumberdaya lautan, perekonomian yang tidak hanya eksploratif nyatanya menjadi kebutuhan saat ini. Hal ini disebabkan banyaknya aktifitas ekonomi di lautan maupun Kawasan pesisir yang cenderung merusak. Selain permasalahan limbah dan sampah yang terbuang kelautan, permasalahan perilaku ekonomi yang cenderung merusak juga masih menjadi PR dewasa ini.
Berkaitan dengan upaya peningkatan ekonomi maritim, Ekonomi Biru dianggap sebagai solusi adanya trade off antara aktivitas ekonomi masyarakat pesisir dan kerusakan lingkungan. Konsep Blue Economy atau ekonomi biru petama kali muncul tahun 2010 dalam buku The Blue Economy : 10 years, 100 innovations, and 100 million jobs yang ditulis oleh Gunter Pauli. Pada tahun 1994 Gunter Pauli juga melakukan presentasi di hadapan sidang PBB dengan tema yang serupa. Ekonomi Biru merupakan konsep yang menjelaskan aktivitas ekonomi yang bukan saja mengurangi limbah, tetapi juga meningkatkan perekonomian masyarakat. Selain itu juga diartikan sebagai Ekonomi Laut Biru yang menjadikan laut sebagai ekosistem yang harus dilindungi dan dioptimalkan kemanfaatannya dalam rangka meningkatkan ekonomi rakyat.
Gunter Pauli melalui Ekonomi Biru mencoba menjelaskan tatanan baru pengelolaan sumberdaya lautan yang tidak eksploratif dan tidak merusak. Dengan mengusung konsep Blue Economy diharapkan perekonomian masyarakat pesisir pantai dapat terangkat dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Lalu sejauh ini bagaimana konsep ini diterapkan di Indonesia?
Kementarian Bapenas melalui inisiasi kerjasama dengan Kementarian Iklim Swedia berkomitmen untuk menggagas kerjasama Blue Economy Indonesia. Kerjasama tersebut selanjutnya di implementasikan dalam buku Blue Economy Development Framework for Indonesia’s Economic Transformation yang diluncurkan pada 25 November 2021. Selain itu Bapenas juga melakukan berbagai Lokakarya Ekonomi Biru Indonesia-Seychelles: Peluang Kerja Sama dan Investasi (Indonesia-Seychelles Blue Economy Workshop: Opportunities for Collaboration and Invesment) yang belum lama ini diselenggarakan makin menegaskan keseriusan pemerintah dalam menarik investasi ekonomi biru melalui kerja sama dengan Seychelles. Selanjutnya peta jalan Ekonomi Biru di Indonesia juga merupakan salah satu pembahasan dalam agenda Development Working Group di G20.
Meskipun terkesan terlambat, namun upaya pemerintah perlu diapresiasi dan mendapat dukungan semua pihak. Dalam proses pengimplementasian Kerangka Kerja Ekonomi Biru tentu saja perlu adanya masukan dari Akademisi dan juga praktisi. Pengimplementasian Ekonomi Biru juga mulai harus dioperasionalkan kepada semua pemangku kepentingan, terutama masyarakat pesisir sebagai target utama pemberdayaan Ekonomi Biru. Selain itu juga diperlukan sinergi antar pihak, mengingat pengimplementasian Ekonomi Biru memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan komprehensif, mengingat ekonomi biru ini meliputi berbagai sektor dan lintas pelaku.
Potensi Ekonomi Biru di Jawa Tengah
Berdasarkan data yang dilansir Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Tengah memiliki wilayah pesisir yang tersebar di 17 Kabupaten yang terletak di pesisir utara dan selatan Pulau Jawa dengan total garis pantai sepanjang 971,52 km terdiri dari panjang pantai utara sepanjang 645,08 km dan panjang pantai selatan sejauh 326,44 km. Luas wilayah perairan Provinsi Jawa Tengah sebesar 1.721.856,24 ha dimana tersebar 45 buah pulaupulau kecil, dengan 6 pulau berpenghuni dan 15 buah pulau lainnya belum memiliki nama. Provinsi Jawa Tengah juga memiliki potensi ekosistem pesisir seperti mangrove (9.933,5 Ha), terumbu karang (9.745 Ha), lamun (83,5 ha), potensi sumberdaya ikan lestari mencapai 422.709,7 ton pertahun serta sumberdaya hayati dan non-hayati maupun sumberdaya buatan lainnya.
Berdasarkan pada data tersebut, nyata adanya potensi ekonomi biru yang perlu dikembangakan dan mendapat dukungan dari berbgai pihak di Jawa Tengah. Universitas dengan para akademisinya harus mulai mengkaji implementasi konsep ini dalam berbagai skema tri dharma. Selain itu para pelaku bisnis juga harus mulai mengamati pergerakan konsep ini dalam menangkap peluang bisnis baru. Permasalahan selanjutnya adalah pada proses sosialisasi berbagai kebijakan dan program pemerintah terkait dengan ekonomi biru kepada masyarakat.
Keberadaan mangrove Lamun dan Terumbu Karang sebagai indikator kelestarian biota laut saat ini masih belum disadari urgensinya bagi masyarakat pesisir pantai. Kesadaraan menjaganya ada, namun tidak berkelanjutan dan dihadapkan pada pilihan sulit karena bersinggungan dengan aktivitas ekonomi yang dilakukan. Selain itu juga belum adanya pemahaman terkait pemanfaatan tiga biota tersebut sebagai salah satu daya dukung ekonomi. Mangrove misalnya, masih dipandang sebagai tanaman yang diperuntukan untuk menjaga abrasi, namun belum banyak masyarakat memanfaatkan pohon mangrove sebgai sumberdaya ekonomi.
Tidak dapat dimanfaatkanya biota laut tersebut tidak lepas dari belum adanya peta jalan yang jelas terkait dengan pemanfaatan Lamun, terumbu karang dan juga mangrove. Saat ini pengembangan potensi kelautan di Jawa Tengah masih berfokus pada pengembangan sektor perikanan. Masih sangat diperlukan konsep pengembangan lebih lanjut berbagai potensi laut selain ikan dan komodiatas pangan lainya.
Upaya melakukan pemberdayaan masyarakat pesisir pantai melalui pemanfaatan bakau, lamun dan karang, nampaknya sudah banyak dilakukan oleh akademisi. Sebagai contoh Pemanfaatan Mangrove sebgai Pewarna batik yang dulakukan Universitas Negeri Semarang. Ada juga Namun keberlanjutan program tersebut belum terlihat dan masih memerlukan dukungan pemerintah. Lalu bagaimana seharusnya?
Pelaksanaan implementasi Ekonomi Biru serta merta bukan hanya tanggungjawab pemerintah. Perlu adanya sinergi berabgai pihak, konsep sinergi dalam penta helix model implentasi ekonomi Biru di jawa tengah perlu dilakukan oleh berabgai pihak. Perlu kebijakan dan program yang jelas dan terarah oleh pemerintah dalam membangun kerangka kerja ekonomi biru di Jawa Tengah. Hal tersebut bisa terwujud jika dari kalangan akademisi mengembangkan kajian terkait ekonomi biru sebagai hal urgent di provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya diperlukan dukungan dari Lembaga masyarakat, kelompok sadar wisata dan organisasi lingkungan untuk turut memberikan dukungan dalam kajian ekonomi biru. Dari sisi pengembangan, dunia bisnis mulai harus di”Jawil” untuk memunculkan peluang baru aktivitas bisnis berbasis ekonomi biru. Yang terahir adalah perlu adanya pemberitaan massif serta Gerakan media untuk menjadikan Ekonomi Biru di Jawa Tengah sebagai salah satu topik yang ramai dibincangkan.
Dengan adanya dukungan antar helix yang sinergi dan maksimal, diharapkan konsep Ekonomi Biru yang ada saat ini lebih implementatif dan operasional bagi peningkatan Kawasan pesisir dan garis pantai di Wilayah Jawa Tengah.
Feriady