Konservasi sebagai Instrumen Persetujuan Bangunan Gedung untuk Menghindari Degradasi Air Tanah

Universitas Negeri Semarang > FEB UNNES > Gagasan > Konservasi sebagai Instrumen Persetujuan Bangunan Gedung untuk Menghindari Degradasi Air Tanah

Diskursus kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya
dengan lingkungan hidup. Komponen didalamnya termasuk biotic dan abiotic
membentuk suatu interaksi dalam kerangka kesatuan yang saling mempengaruhi atau
disebut sebagai biogeocoenosis (Soegianto, 2010). Konsepsi tersebut melekat dalam
jiwa manusia, akan tetapi masih ada yang beranggapan bahwasanya manusia
merupakan unsur terpisah dari alam dan hanya ditujukan untuk kepentingan manusia.
(Pasang, 2011) Paham antroposentrime tersebut akan berdampak besar bagi
keberlangsungan makhluk hidup lainnya. Banjir merupakan salah satu bencana alam
yang selain bersumber dari faktor lingkungan juga akibat tindakan manusia. Secara
general bencana ini terjadi pada suatu wilayah dengan kontur topografi berupa dataran
rendah hingga cekung. Dataran tinggi yang seharusnya minim dari potensi banjir justru
kian rentan sejalan dengan laju pengelolaan dan kerusakan lingkungan. Hal serupa
terjadi pada dua Kecamatan di Kota Semarang yakni Gunungpati serta Mijen dengan
masing-masing ketinggian kontur tanah 348 m dan 253 m diatas permukaan air laut.
Kurangnya daerah resapan akibat banyaknya pembangunan kontruksi yang tidak
memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) menjadi faktor utama terjadinya
banjir. (Yusuf, 2022)
Aneksasi dengan mendirikan bangunan tanpa memperoleh legalitas PBG
maupun memperhatikan faktor lingkungan perlu mendapatkan penanganan yang lebih
tegas. Pemerintah sebagai garda terdepan mempunyai kewajiban untuk
menindaklanjuti para pelaku yang secara tidak sengaja turut menjadi penyebab banjir
di dataran tinggi. Namun, upaya penangganan juga dapat dilakukan oleh siapapun
termasuk masyarakat. Konservasi lingkungan rawan bencana dapat dilakukan
secepat mungkin. Konservasi merupakan suatu pengelolaan sumber daya alam
melalui pemanfaatan yang bijaksana guna menjamin adanya kesinambungan
cadangan melalui upaya pemeliharaan dan peningkatan kualitas nilai keragamannya.
(KEHATI, 2000). Manifestasinya meliputi preservasi (protection), restorasi, efisiensi,
penggunaan kembali (recycyling) sumber daya alam. Selain itu, juga mencakup upaya
menggantikan sumber alam yang tidak terbaharukan dan mengintegrasikannya guna
menghindari tidak adanya salah guna maupun pemborosan. (Dwijoseputro, 1994)
Misalnya pemanfaatan tanah untuk selokan tidak harus mengorbankan kepentingan
lahan penghijauan.
Konservasi dilakukan dengan menjaga, melindungi, dan mengembangkan
ekosistem melalui metode insitu dan exsitu. Regulasi serta peningkatan peran serta
masyarakat menjadi komponen pendukung keberhasilan suatu konservasi.
Penanganan banjir dilakukan melalui konservasi air dan tanah. Konservasi tanah
adalah penggunaan sebidang tanah dengan memenuhi syarat-syarat sekaligus
mempertimbangkan kemampuan daya tamping serta daya dukungnya. (Nursari, 2018)
Konservasi air ditempuh dengan cara mengawetkan air dalam tanah dengan tujuan
sebagai cadangan di musim kemarau guna menghindari dehidrasi air tanah. (Arsyad,
2006). Penulisan opini ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis serta
diharapkan mampu memberikan paradigma dan wacana dalam Konservasi sebagai
Instrumen Persetujuan Bangunan Gedung untuk Menghindari Degradasi Air Tanah.

Banjir masih menjadi bencana yang sering melanda wilayah Indonesia
sepanjang tahun 2022 jumlahnya berkisar 39,48 % dari keseluruhan bencana alam.
(Annur, 2022). Bencana banjir di wilayah darataran tinggi dapat dipicu oleh intensitas
curah hujan yang tinggi. Kerusakaan keseimbangan ekosistem merupakan faktor
utama bencana alam ini. Kebutuhan melangsungkan hidup yang sejahtera sebanding
dengan pemanfaatan lingkungan hidup. Pembangunan menjadi langkah efektif untuk
mencapai tujuan manusia sekaligus upaya konservasi. Terdapat disparitas konsepsi
pembangunan antara Negara Berkembang dan Negara Maju. Penanganan masalah
lingkungan di Negara Maju menggunakan model meminimalisir pertumbuhan atau
pembangunan (zero growth). Sementara negara berkembang misalnya Indonesia
penanganan problematika ekosistem harus melibatkan pertumbuhan ekonomi dengan
mengembangkan pembangunan nasional berkelanjutan. Namun, maraknya kegiatan
tanpa legalitas Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) menjadi faktor pemicu
maraknya kerusakan lingkungan yang berimbas pada terjadinya bencana alam pada
daerah yang seharusnya minim risiko. Kegiatan menyalahi aturan ini sebagai akibat
dari faktor demografi. Meningkatnya jumlah penduduk mendorong tingkat permintaan
terhadap lahan berujung pada pembukaan lahan yang seharusnya difungsikan
sebagai daerah resapan air. (Gatiningsih & Sutrisno, 2017) Korelasi antara sumber
daya alam dan penduduk mempunyai keterkaitan yang tidak dapat dilepaskan.
Malthus dengan teorinya beranggapan bahwasanya pertumbuhan penduduk akan
meengikuti deret ukur sementara pertumbuhan sumber daya alam akan mengacu
pada deret hitung. (Hadi, 2011) Teori ini menegaskan pentingnya keseimbangan
pertambahan jumlah penduduk terhadap ketersedian sumber daya alam untuk
menekan laju lahan kritis. Penanggulann dapat ditempuh secara struktural dengan
meningkatkan daya dukung seperti reboisasi dan non-struktural misalnya keterlibatan
masyarakat dan penyuluhan. (Karyati & Sarminah, 2018)
Menurunnya daya dukung lingkungan di daerah penyangga, khususnya
Gunungpati sebagai penopang Kota Semarang memicu adanya bencana banjir di
daerah hilir akibat besarnya debit air larian (run off). Konservasi perlu dilakukan
sesegera mungkin mengingat bencana alam masih sering melanda wilayah Indonesia.
Konservasi tanah dan air menjadi langkah efektif untuk meminimalisir potensi bencana
alam, selain itu keberadaannya perlu dilestarikan sebab termasuk sumber daya alam
tidak terbarukan. Menurut UU 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, KTA
merupakan sebuah usaha melindungi, memelihara, meningkatkan, serta memulihkan
berdasarkan peruntukan dan kemampuan peran tanah pada suatu lahan untuk
kehidupan yang lestari serta pembangunan yang berkelanjutan.
Penyelenggaraan konservasi tanah dan air harus diimplementasikan secara
terpadu, terencana, komprehensif, serta berkelanjutan. Upaya konservasi dapat
dilakukan melalui pemanenan air hujan (rainwater harvesting), resapan biopori, dan
reboisasi vegetasi. Pemanenan air hujan melalui sumur resapan menggunakan
metode menghimpun serta mencadangkan air hujan yang bersumber dari permukaan
tanah maupun atap bangunan. Penerapan ini selain untuk mengurangi genangan air
hujan, juga sebagai cadangan air tanah saat musim kemarau. Hal ini juga untuk
menghindari krisis air bersih, mengingat pernah terjadi pada dua tahun silam di
Kecamatan Gunungpati tepatnya di Kelurahan Randusari (KontenJateng, 2020)
Metode Rainwater harvesting dilakukan pada daerah dengan lahan yang cukup
luas atau lahan kosong milik pemerintah maupun warga sebagai tempat
penampungan air, sedangkan di wilayah Kecamatan Gunungpati terbilang padat
pemukiman maka penerapan pori yang besar pada sumur resapan dapat memicu
adanya penurunan permeabilitas dan peningkatan beban resapan. (Febrianti, 2021)
Lubang Resapan Biopori (LRB) dapat digunakan sebagai instrument utama. Menurut
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup 12/2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan,
LRB merupakan sauatu pori dengan diameter antara 10 hingga 25 cm serta panjang
berkisar 100 cm yang dibuat secara vertikal serta tidak melampaui kedalaman muka
air tanah (water table). Sampah organik dimasukkan ke lubang bipori sebagai upaya
mengurangi penumpukan sampah, menyuburkan tanaman, menghasilkan kompos,
(Zulaihah, et al, 2018) dan memperbaiki mutu air tanah.
Pemilihan sampah organik menjadi faktor penentu hasil kompos. Sampah kulit
nanas dan kulit pisang yang merupakan komiditi lokal dapat digunakan untuk mengisi
lubang biopori sebab mempunyai kualitas yang baik dengan indikasi pH netral dan
tingkat rasio C/N mendekati 10. Kompos baik yang dihasilkan dari LRB yakni memiliki
rasio C/N mendekati angka 20 hingga 30. (Febrianti, 2021). Lokasi yang
direkomendasikan ialah pada daerah saluran pembuangan air hujan atau sekitar
drainase maupun sekitar pepohonan.
Penanaman vegetasi terseleksi pada lahan sekitar daerah resapan air maupun
sektar pemukiman akan menambah infiltrasi tanah. Melindungi transportasi aliran air
permukaan, memproteksi permukaan tanah dari air hujan, serta menjadi mediator
meningkatkan pasokan air sebagai upaya konservasi tanah. Kawasan dataran tinggi
perlu suatu vegetasi akar tunggang yang dapat menjadi penahan tergerusnya tanah
akibat tekanan air yang dapat berujung pada bencana banjir maupun tanah longsor.
Pohon trembesi merupakan tanaman vegetasi yang dapat diterapkan, mengingat
efisiensi lahan harus dilakukan secara tepat untuk mengindari adanya lahan yang tidak
tepat guna. Trembesi (Samenea saman) atau pohon hujan dengan kemampuan
menyerap air tanah yang sangat kuat. Mampu menampung 900 meter kubik air
pertahun serta dapat menyalurkan 4000 liter air pipa perhari. (Maslina, 2015)
Meskipun bukan tanaman spesies asli Indonesia namun tidak akan merusak
ekosistem lokal sebab daun serta buahnya kaya sukrosa akan mejnjadimedia sangat
baik untuk mikroorganisme tanah setalah lapuk menjadi humus. (Dahlan, 2010)
Penanaman pohon trembesi dilakukan di lahan sekitar bangunan ringan seperti taman
dan ruko sementara pada daerah pemukiman padat bangunan dapat ditanami
tanaman ringan agar akar tidak merusak kontruksi.
Pengaturan mengenai Lubang resapan biopori serta konservasi tanah dan air
mengindikasikan adanya bentuk upaya pemerintah dalam menciptakan
keseimbangan lingkungan. Pelaksanaan peraturan di masyarakat (das sein) nyatanya
belum sesuai kemanfaatannya. Integrasi konservasi lingkungan berwawasan hukum
perlu dilakukan. Pemberian Persetujuan Bangunan Gedung dapat diintegrasikan
dengan kewajiban menyediakan sumur resapan atau biopori. Program ini sedang
diupayakan oleh Pemerintah Jawa Timur dan diharapkan mampu mendorong daerah
lain untuk turut menggalakan aksi konservasi ini. (Febrianto, 2020) Penanaman pohon
ringan dapat dijadikan instrumen tambahan sebagai syarat memperoleh PBG.
Upaya pemerintah dalam konservasi air dan tanah tentunya membutuhkan
sinergi dan dukungan dari masyarakat tidak terkecuali dengan generasi muda yang
memiliki andil besar untuk mencapai keberhasilan. Milenial mempunyai peranan untuk
mendorong masyakat agar taat aturan hukum dengan memberikan sosialisasi urgensi
kepemilikan PBG sekaligus berperan aktif membantu masyarakat yang sudah
mempunyai PBG untuk memenuhi syarat yakni penanaman pohon ringan dan lubang
resapan biopori di lahannya.

Dataran tinggi sebagai daerah penyangga memiliki pengaruh besar bagi
wilayah hilir. Bencana banjir mengindikasikan adanya kerusakan alam yang
seharusnya tidak terjadi di daerah minim risiko. Upaya konservasi air dan tanah
menjadi solusi dan instrumen yang dioptimalisasi guna mencapai keseimbangan
ekosistem serta mendegradasi potensi bencana alam melalui penegakan Persetujuan
Bangunan Gedung. Penerapan integrasi penanaman pohon dan resapan biopori
merupakan tonggak sejarah baru dalam syarat legalitas hukum yang sudah
sepatutnya segera diberlakukan. Kolaborasi dari seluruh elemen masyarakat
khususnya generasi muda memiliki andil besar dalam menyukseskan program
pemerintah dengan turut serta memberikan kesadaran hukum berwawasan konservasi
lingkungan hidup.

 

Penulis: Anisa Fernanda

Leave a Reply

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: