Pada 5 Juni 2022, secara mendadak masyarakat dikejutkan oleh keputusan naiknya harga tiket Candi Borobudur yang sangat fantastis. Kenaikannya tidak tanggung dari Rp 50.000 menjadi Rp 750.000 untuk turis lokal dan untuk wisatawan asing naik dari US$ 25 menjadi US$ 100 per orang. Demikian yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang telah banyaj dikutip oleh banyak media massa. Menurut Luhut, kenaikan harga tiket masuk tersebut guna membatasi jumlah kunjungan ke dalam candi.
Jika kita telaah lebih dalam kalimat tersebut, maka pengenaan tarif Rp 750.000 dan US$ 100 per orang merupakan tarif jika wisatawan ingin masuk ke dalam Candi Borobudur. Jika hanya sekedar masuk ke kawasannya saja, harga tiket yang dikenakan tidak akan setinggi itu. Hal ini sebenarnya bertujuan untuk melindungi bangunan Candi Borobudur yang kian rapuh setiap tahunnya karena menanggung banyak beban akibat banyaknya wisatawan yang masuk.
Pengelola Candi Borobudur telah membangun apik kawasan sekitar candi agar pengunjung tetap dapat menikmati kunjungan ke Candi Borobudur meski tidak memasuki candi. Pengelola melakukan ini agar pengunjung tidak banyak menambah beban candi yang batu-batunya semakin aus diinjak banyak pengunjung dan mengakibatkan relief-relief akan kotor karena sering dijamah pengunjung. Menurut data, pada 2019, sebanyak 4,39 juta turis lokal dan mancanegara menaiki Candi Borobudur. Bayangkan berapa besar berat pengunjung dan beban yang harus ditanggung candi berusia ribuan tahun. Lalu bagaimana kita memandang secara ekonomi dan konservasi tentang kenaikan harga tiket tersebut?
Candi Borobudur sudah sejak lama menjadi candi yang komersial di Indonesia karena daya tarik keindahan alam, budaya, dan seninya. Candi Borobudur merupakan bangunan purbakala unik karena badannya dapat dinaiki banyak orang sekaligus. Rata-rata pengunjung akan menuju bagian atas yang disebut arupadhatu dan mencari tentang keyakinan “mitos” beredar. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran banyak konservasionis atau pakar konservasi. Batu-batu Candi Borobudur dulu banyak melesak atau hampir roboh karena ratusan tahun tidak ditangani. Setelah pemugaran besar-besaran, Candi Borobudur didatangi lebih banyak pengunjung dan beberapa tahun kemudian, diketahui lantai Candi Borobudur telah banyak yang roboh. Jika kita telisik lebih teliti, banyak ditemukan vandalisme pada tubuh candi yang seharusnya dijaga warisannya.
Menurut kasus di atas, tindakan kenaikan tiket tersebut sangat tepat dalam sisi konservasi. Upaya perlindungan Candi Borobudur harus segera dilakukan sebelum terlambat dan Indonesia tidak lagi memiliki warisan budaya dari leluhur. Bagaimana ekonomi memandang fenomena ini? Berita lain yang beredar, untuk masuk ke dalam candi, pengunjung wajib menggunakan jasa tour guide dari masyarakat lokal di sana. Dari konsep itu, jelas menguntungkan untuk masyarakat lokal karena mereka akan mendapatkan penghasilan dari pekerjaan tersebut. Dan karena kenaikan harga tiket hanya dikenakan untuk memasuki candi, hal tersebut harusnya tidak berdampak banyak terhadap kunjungan ke Kawasan Candi Borobudur dan pendapatan yang dihasilkan. Seperti berkaca terhadap Candi Prambanan. Candi Prambanan sudah lama menerapkan bahwa pengunjung tidak boleh memasuki ataupun menaiki candi guna melindungi bangunan candi yang semakin rapuh dan beberapa telah roboh akibat gempa Jogja tahun 2006. Meski begitu, pengelola menggantinya dengan fasilitas yang dapat dinikmati di sekitar kawasan candi yang tak kalah menarik seperti pementasan tari wayang Rama Shinta. Apakah berhasil menarik wisatawan? Tahun 2022, ketika candi mulai beroperasi seperti sebelum pandemi, jumlah kunjungan wisatawan meledak mencapai 5,1juta turis lokal maupun asing.