Siapa yang tak kenal dengan buku James C. Collins dan Jerry I Poras, yang berjudul Built to
Last: Success Habits of Visionary Companies, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1994 dan
hingga edisi ke tiga pada tahun 2002 telah terjual lebih dari satu miliar kopi. Dalam bukunya Collins
mencoba mencari tahu apa yang menjadi kunci sukses perusahaan yang masuk rangking 100 Forbes
dapat bertahan lebih dari satu abad.
Dari hasil kajian Collins dan Poras, ditemukan bahwa keunggulan perusahaan yang bertahan
hingga lebih dari satu abad adalah budaya perusahaan, yang menciptakan nilai (value) bagi insan
yang ada di perusahaan. Tentu terlepas apakah nilai tersebut “etis” atau tidak adalah topik lain.
Budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang dipegang oleh anggota organisasi
yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Sistem ini dicirikan oleh nilai-nilai,
keyakinan, dan asumsi yang mendasarinya. (Robbins dan Judge, 2023). Budaya dominan
mengekspresikan nilai-nilai inti (core value) yang dianut oleh sebagian besar anggota dan yang
memberikan kepribadian yang berbeda pada organisasi. Jika menilik dari misi FEB Unnes butir ke
empat “Menerapkan Tata Kelola Yang Baik dan Mampu Beradaptasi dan Bersinergi Dengan
Lingkungan Secara Berkelanjutan” dari sisi tata kelola yang baik atau lebih dikenal dengan Good
Corporete Governance (GCG), dikenal 5 prinsip GCG yaitu TARIF yang meliputi :
Transparency, tata kelola organisasi mengedepankan keterbukaan mengenai informasiinformasi penting dalam organisasi agar dalam pengambilan keputusan bisa dilakukan secara
holistik; Accountability, organisasi dalam menjalankan fungsinya, harus dengan arah dan
perencanaan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Responsibility adalah tanggung
jawab sosial berikut kepatuhan hukum. Sementara prinsip Independent menekankan pada
pentingnya keberimbangan tanpa adanya dominasi dan kebergantungan. Fairness menekankan
pada kewajaran dan kesetaraan, organisasi harus senantiasa memperhatikan kepentingan para
pemangku kepentingan (stake holder).
Dalam implementasi TARIF dilakukan dengan 3 fase yaitu Sosialisasi, Internalisasi dan
Eksternalisasi. Fase, Sosialisasi memastikan seluruh insan di FEB memahami nilai-nilai atas
TARIF dimaksud, lalu fase berikutnya adalah Internalisasi, bagaimanan nilai-nilai tersebut
dilaksanakan, artinya akan ada tindakan STOP yang menghentikan tindakan (perilaku) yang tidak
sesuai dengan prinsip TARIF, CONTINUE, melanjutkan tindakan (perilaku) yang sesuai dengan
prinsip TARIF, lalu NEW melatih untuk melakukan tindakan (perilaku) baru yang sebelumnya tidak
dilakukan, tetapi dianggap sesuai dengan prinsip TARIF. Contoh untuk mendukung transparansi,
mahasiswa memberikan umpan balik tingkat kepuasan atas layanan yang diberikan dosen dan
tendik.
Untuk memastikan fase internalisasi berhasil, maka diperlukan Change Agent (CA) yang
bertanggung jawab memfasilitasi dan mendampingi para Chang Target (CT) untuk melakukan
STOP, CONTINUE dan NEW. Fase akhir adalah Eksternalisasi, yang merupakan output dari fase
sebelumnya. Fase ini berhasil ketika siapapun yang berinteraksi degan insan FEB merasakan
prinsip TARIF secara nyata.
Keseluruhan hal di atas, secara naratif mudah di narasikan, tetapi dalam hal implementasi,
diperlukan kesungguhan karena proses perubahan budaya memerlukan upaya menyeluruh dan
konsistensi, terutama diperlukan CHAMPION dari pemimpin yang memiliki kewenangan tertinggi
di unit di mana perubahan itu akan dilakukan. Sekalipun tidak mudah bukan berarti tidak mungkin.
Karena bukan yang terkuat yang dapat bertahan tetapi yang dapat beradaptasi dengan
perubahan. (erh-090324).
Penulis: Erianto Hasibuan