


Arsip Keluarga: Identitas, Memori, dan Warisannya
Oleh Agung Kuswantoro
Saat kita sendiri – belum menikah – secara identitas (resmi) hanya memiliki KTP. KTP adalah arsip vital (perseorangan). Artinya wajib disimpan hingga meninggal dunia. Namun, seiring berjalannya waktu, kita menikah, sehingga muncul arsip berikutnya yaitu akta nikah dan Kartu Keluarga.
Keluarga adalah Ibu dan Bapak beserta anak-anaknya, seisi rumah (KBBI). Melihat definisi ini, maka awal mula keluarga adalah suami-istri dengan “jalur” menikah (resmi negara). Disitulah awal mula arsip keluarga muncul.
Ada apa saja dalam arsip keluarga? Pertama, identitas. Kita mengenal istilah: Gus, Kiai, Ning, dan istilah yang serupa. Ada juga istilah: dibelakang nama berupa suami, seperti: Titik titik Yudhoyono, Titik titik Hutapea, dan contoh lainnya.
Contoh-contoh ini, menunjukkan identitas keluarga. Bahkan, ada yang sampai merubah nama KTP dengan nama keluarga suaminya, secara administrasi, jika merubah nama, maka ke pengadilan. Mengapa mereka mau merubah namanya, setelah menikah di KTP-nya? Karena menunjukkan identitas.
Namun, ada juga yang tidak menunjukkan nama suami/bapaknya dengan tujuan agar anak berjuang dengan dirinya dirinya, tanpa “embel-embel” nama keluarga/bapaknya. Pastinya, yang menunjukkan suami/bapak agar mengetahui identitas keluarganya. Identitas pun diperlukan dalam keluarga. Ada juga nama identitas keluarga menunjukkan lokasi/daerah seperti: Nasution, Hasibuan, Sitompul, dan lainnya.
Kedua, memori. Arsip keluarga menunjukkan memori. Terutama, keluarga yang sudah memiliki keturunan/anak. Fenomena sekarang: orang tua memposting/update status kegiatan anaknya. Bahkan, mbah/nenek/kakek meng-update status cucunya. Itulah memori.
Pertanyaan mengapa anak/cucu yang dijadi bahan update status atau fokus pembicaran? Karena punya hak: mana bapaknya dan mana ibunya. Pernah kita mendengar anak mencari bapaknya untuk diakui sebagai anak. Atau, seorang wanita bawa anak mencari bapaknya.
Memori atau ingatan muncul karena otak manusia memiliki kemampuan untuk merekam, menyimpan, dan mengingat kembali pengalaman yang terjadi. Oleh karenanya, pasanglah foto (kenangan) rumah yang baik agar memori kita mudah muncul di rumah. Minimal saat sedih atau marah, melihat foto yang terpajang di dinding yaitu foto pernikahan. Tadinya, marahan atau berantem jadi “akur” lagi setelah lihat foto “manten”. Itulah makna arsip sebagai memori.
Ketiga, terakhir, warisan. Dasar untuk membagi warisan adalah Kartu Keluarga. Warisan tidak akan “jatuh”/diberikan kepada pihak yang diluar kartu keluarga. Anak adalah pewaris keluarga. Jika ada pihak diluar keluarga meminta hak waris, maka namanya “merebut” warisan.
Hati-hati juga dalam masalah warisan, karena ada “warisan” berupa usaha yang akan diberikan ke anak. Ini juga bisa “ramai” jika tidak ditata dengan baik dalam keluarga. Oleh karenanya, peran Ibu-Bapak sangat berperan dalam mendidik anaknya. Karena, harta bukanlah satu-satunya untuk menjadikan sukses segalanya, karena ada ilmu yang bermanfaat: dan doa anak kepada orang tua adalah salah satu amal yang tidak terputus hingga akhirat. Itulah tiga makna arsip keluarga yaitu identitas, memori, dan warisan. Semoga kita bijak memahami dan mengaplikasikan arsip keluarga tersebut. []
Semarang, 15 Juli 2025 / 19 Muharrom 1447
Ditulis di UPT Kearsipan jam 10.30 – 10.50 Wib.
