Bung Karno dan IKIP Semarang
Oleh: Syaiful Amin, S. Pd., M. Pd.
Ilmu pengetahuan dan kekuasaan adalah dua subjek yang saling mengikat tapi tidak bisa dikumpulkan dalam satu ‘cawan’. Sudah lebih ribuan tahun lamanya, ilmu pengetahuan berkembang berdampingan dengan lenggam kekuasaan yang berubah. Foucault dalam buku berjudul Power/Knowledge menceritakan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dilakukan tanpa intervensi kekuasaan, tetapi kekuasaan absolut hanya meredam tumbuhnya pengetahuan itu sendiri.
Bangsa Indonesia melewati dinamika politik panjang, sebelum masuk ke era reformasi seperti sekarang. Saat ini, barangkali seorang anak yang lahir sudah dibekali akses menuju pendidikan di level paling tinggi. Berbeda halnya dengan kondisi Indonesia pra merdeka, akses menuju pendidikan tinggi hanya dimiliki oleh elit politik dan keturunannya. Pendidikan adalah sebuah kemewahan yang tidak bisa dimiliki semua orang.
Hingga, ide untuk mencerdaskan kehidupan bangsa lahir bersamaan dengan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Hal itu terpengaruh oleh sarjana-sarjana Indonesia lulusan Barat, seperti Hatta yang memandang bahwa bangsa yang merdeka adalah bangsa yang terdidik, berkeadilan, dan sejahtera.
Di bawah tangan dingin para kaum pergerakan, gagasan mendidik bangsa dicetuskan mula-mula melalui Taman Siswa dengan tokohnya Ki Hadjar Dewantara, kemudian merambah ke pendidikan formal yang dinaungi langsung oleh nagara yang merdeka. Sebagai bangsa yang maju, tidak cukup mendidik hanya sampai tingkat pendidikan menengah, tetapi perlu mengadakan pendidikan tinggi. Sedangkan bekas-bekas sekolah Belanda sebagian besar telah dinasionalisasi, seperti Institut Teknologi Bandung yang dikenal sebagai perguruan tinggi tertua di Indonesia.
Di Semarang, institusi pendidikan tinggi yang paling awal adalah Universitas Diponegoro diresmikan sebagai universitas negeri di tahun 1960. Selanjutnya IKIP Semarang yang didirikan dengan misi khusus, mencetak guru-guru profesional yang siap mencerdaskan kehidupan bangsa diresmikan tahun 1965, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No 271.
Keputusan yang meresmikan berdirinya IKIP Semarang (saat ini Universitas Negeri Semarang) ditandatangani langsung oleh Presiden Soekarno (1945-1966). Mengingat tahun 1965 menjadi tahun yang sangat krusial, peresmian berdirinya IKIP Semarang menunjukan komitmen negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan guru bagi Bung Karno adalah landasan bagi lahirnya generasi yang cerdas dan mengerti arah jalannya pembangunan atau sering dikampanyekan Nation and Character Building.
Sebelum menjadi Presiden RI pertama, Ir. Soekarno pernah menjadi guru bagi sebuah sekolah di Bengkulu, ketika dalam masa pengasingan. Hal itu memperlihatkan dedikasi sekaligus perjuangan Bung Karno dalam membina generasi yang terdidik. Latar historis ini yang menjadikan, pada periode akhir masa kekuasaannya, cukup banyak institut keguruan yang didirikan hampir di setiap kota besar di Indonesia.
Bung Karno dan IKIP Semarang tersimpan dalam memori yang memuat cita-cita luhur kaum pergerakan yang menginginkan masyarakat Indonesia terdidik dan tercerahkan. Sebelum kekuasaannya berakhir, Ia menunjukan bahwa tidak selamanya kekuasaan di bangun atas dasar politik dan diperuntukan bagi kepentingan politik. Kekuasaan yang kuat berdiri di tengah kaum yang terdidik, berjiwa besar. Sistem pendidikan yang kuat berdiri di atas tiang penyangga bernama kekuasaan. Hingga hari ini, usaha itu belum sama sekali selesai, bangsa Indonesia belum sampai seperempat jalan. IKIP Semarang yang kini dikenal dengan nama UNNES masih berjalan di garis perjuangan para founding father bangsa.