Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang pesat kini juga berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Perkembangan teknologi yang terjadi kini juga mempengaruhi perubahan terhadap bahasa karena bahasa merupakan alat komunikasi bagi manusia. Pelbagai perubahan yang terjadi dalam praktik berbahasa pada era sekarang bahkan telah melampaui teori-teori kebahasaan.
Kondisi ini membuat teori linguistik modern yang ada saat ini terkadang tidak mampu menjelaskan gejala kebahasaan saat ini, tutur Prof. Fathur Rokhman selaku penulis buku Lingustik Disruptif: Pendekatan Kekinian Memahami Perkembangan Bahasa. Menurutnya, diperlukan pendekatan studi linguistik baru yang lebih kontekstual. “Meski sudah dimulai pada 1997, namun disrupsi bahasa mencapai titik perubahan tertinggi sekitar 2015 ketika bisnis daring semakin menjamur,” ujar Fathur dalam peluncuran dan diskusi buku yang ia tulis bersama Surahmat, M. Hum., Selasa (05/05). Diskusi ini dilakukan melalui aplikasi Zoom dan Youtube yang diikuti dosen dan mahasiswa dari sejumlah kampus.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disrupsi diartikan sebagai “hal tercerabut dari akarnya”. Fathur mengungkapkan bahwa disrupsi bahasa bermula dari Revolusi Industri 4.0 yang berdampak pada perubahan besar terhadap perekonomian karena perkembangan teknologi informasi dan otomatisasi sebagai salah satu dampak turunannya.
Contoh disrupsi bahasa antara lain adalah ucapan “terima kasih” yang sekarang berubah menjadi penilaian atau peringkat (rating). Dalam ojek daring, ucapan terima kasih dan penghargaan atas kepuasan pelanggan diukur dengan banyaknya tanda bintang kepada pengojek yang sudah disewa jasanya. Selain itu, ekspresi verbal disampaikan melalui emoji, emoticon, dan macam-macam gambar stiker di dalam aplikasi pesan dan media sosial.
Ada pula penggunaan tanda pagar (hashtag) sebagai penanda topik tertentu di dalam unggahan media sosial. Keinginan memviralkan topik tertentu juga menjadi fenomena baru di Twitter dan Youtube.
Guru besar Fakultas Bahasa dan Seni UNNES, Prof. Rustono dan Prof. Ida Zulaeha hadir dalam kesempatan itu sebagai pembicara. Rustono mengatakan, jika secara objektif bahasa telah berubah, kajian terhadapnya juga perlu dilakukan dengan cara baru. Oleh karena itu, linguistik perlu mengembangkan diri dengan melengkapi perangkat epistemologinya dengan perangkat baru yang lebih lengkap. Konsep linguistik disruptif paling dekat dengan perubahan sosial.
“Itu karena bahasa sebagai realitas yang tidak bisa berdiri sendiri, sehingga perubahan dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh masyarakat pengguna,” ujar Rustono yang menjabat Rektor Universitas Ivet Semarang itu.
Menurut Ida Zulaeha, buku Linguistik Disruptif memuat hal-hal yang belum diungkap dalam kajian linguistik sebelumnya, termasuk sejumlah ciri masyarakat tutur pada era disrupsi. Di dalam perilakunya, masyarakat tutur cenderung menisbikan kekhasan dan kaidah bahasa lisan dan tulisan. Struktur dan gaya bahasa lisan pun diadaptasi sebagai struktur atau gaya menulis di internet.
“Dalam konteks kesadaran masyarakat bahasa pada era internet, muncul anonimitas, yaitu ketiadaan pertanggungjawaban. Masyarakat internet juga sering kehilangan kesadaran kelompok, berada dalam satu kelompok tertentu tapi tidak bisa membedakan wilayah privat dengan kelompok atau komunitasnya,” ujar Ida yang juga Wakil Direktur Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Pascasarjana UNNES itu.
Dekan FBS Universitas Negeri Padang, Prof Ermanto, yang juga hadir dalam diskusi itu, menyatakan buku Linguistik Disruptif menawarkan pendekatan baru dalam studi linguistik yang menjadikan teknologi disruptif sebagai variabel independen. Menurutnya, buku ini mampu menjadi jembatan dalam kajian linguistik dan makna yang berkembang pada era disrupsi. (Sumber: fbs.unnes.ac.id)