oleh Prof. Dr. Tandiyo Rahayu, M.Pd., Guru Besar Fakultas Ilmu Keolahragaan Unnes.
PEKAN Olahraga Nasional ke-19 di Jawa Barat telah usai. Ajang adu kecepatan, kekuatan, dan ketangguhan di arena olahraga yang diselenggarakan tiap empat tahun ini, telah mengalami perubahan baik dari reputasi maupun orientasi.
Saat ini, sepertinya lebih tepat bila PON diakronimkan sebagai Pesta — bukan Pekan— Olahraga Nasional. Sebab, terlalu banyak cabang olahraga dan nomor-nomor yang dipertandingkan.
PON sudah tidak mungkin lagi diselenggarakan selama sepekan. Sejak PON XV di Jawa Timur hingga PON XIX di Jawa Barat, waktu yang diperlukan untuk menggelar acara ini berkisar antara 11 sampai 13 hari, terhitung dari pembukaan hingga penutupan.
Belum beberapa cabang olahraga yang memulai pertandingan sebelum pembukaan. Selain itu, penyelenggaraan PON telah berubah orientasi menjadi ”pesta yang mempertontonkan olahraga”.
Ambisi berlebihan dari setiap daerah untuk meraup medali, membuat pesta ini kehilangan nilai-nilai sportivitas dan jauh dari nilai luhur Olympism yang seharusnya mewarnai setiap gelaran olahraga. Di Sumatera Selatan 2004, PON diikuti oleh 5.560 atlet dan mempertandingkan 41 cabang olahraga.
PON XVII Kaltim 2008 diikuti 7.946 atlet dengan 43 cabang, PON XVIII di Riau diikuti 11.276 atlet dengan 43 cabang, dan PON XIX di Jawa Barat diikuti oleh sekitar 15.000 atlet, dengan 44 cabang dan 10 cabang eksibisi. PON XIX diikuti oleh 34 provinsi, memperebutkan 756 medali emas. Bandingkan dengan Olimpiade Rio 2016, diikuti oleh 78 negara dan memperebutkan 307 medali emas.
Pesta Olahraga Nasional empat tahunan ini sudah saatnya dievaluasi, dan mengembalikan hakikat sebagai gelaran olahraga tingkat nasional yang menjadi mata rantai strategis untuk menggapai prestasi dunia.
Sasaran akhir pembinaan olahraga adalah kebanggaan menyaksikan sang Merah Putih berkibar di atas bendera negara lain, diiringi oleh gema Indonesia Raya. PON cukup mempertandingkan cabang-cabang olahraga Olimpiade, atau pisahkan cabang Olimpiade dan non-Olimpiade.
Keduanya bisa tetap disebut PON, yang satu kepanjangan Pekan Olahraga Nasional yang cukup digelar selama sepekan dan diselenggarakan empat tahun sekali pada tahun ganjil, yang lain kepanjangan Pesta Olahraga Nasional diselenggarakan empat tahun sekali pada tahun genap.
Di PON Jabar, Jateng membawa pulang 32 medali emas, 56 perak, dan 85 perunggu. Hasil ini tidak memenuhi target, karena KONI Jawa Tengah menetapkan target 60 medali emas. Ada beberapa faktor yang membuat target meleset.
Pertama, kualitas atlet Jateng masih di bawah atlet daerah lain. Ini terbukti secara empirik, karena atlet Jateng lebih banyak yang kalah. Mengapa mereka kalah? Ada dua sebab, yaitu teknis dan nonteknis.
Sisi teknis dapat dirunut menggunakan pendekatan ilmu keolahragaan, yang pasti akan ditemukan banyak kelemahan. Di antaranya, atlet terserang demam, diare, cedera dan lain-lain.
Atlet terserang demam dan diare menunjukkan tidak memiliki daya tahan tubuh baik, yang bisa jadi akibat gizi tidak seimbang selama latihan. Cedera dapat disebabkan kesalahan dalam latihan, mungkin teknik dan strategi latihan tidak mengembangkan otot secara seimbang.
Sisi non-teknis dapat disebabkan salah satunya oleh dominasi dan provokasi suporter. Kontingen Jateng kekurangan suporter. Kedua, ada dua hal yang tidak banyak diketahui atau disadari oleh masyarakat luas, karena memang tidak pernah diekspose oleh media.
Pertama, pada babak pra kualifikasi PON satu tahun lalu, Jateng mengumpulkan 75 emas, namun di PON hanya mampu membawa pulang 32 emas. Ada apa? Apa yang terjadi selama satu tahun persiapan menuju PON? Hal kedua, setidaknya ada 11 medali emas yang saat ini dibawa pulang Jabar, Jatim, Kaltim, Papua dan beberapa daerah lain, yang sejatinya milik Jateng.
Ke-11 medali emas tersebut ”kabur” bersama atlet Jateng yang hengkang ke daerah lain. Ada apa? Mengapa para atlet tersebut kabur ke lain daerah? Ini menjadi utang dan pekerjaan rumah bagi masyarakat Jawa Tengah. Ketiga, kisruh pendanaan olahraga di Jawa Tengah.
Secara sederhana saja, Jawa Barat mengucurkan dana sekitar Rp 370 milliar untuk menyiapkan atlet, dan pada akhirnya meraup 216 medali emas. Jateng menghibahkan dana sekitar Rp 70 milliar, membawa pulang 32 medali emas. Menurut saya, dari dana ini dapat dikatakan sebetulnya cukup seimbang antara dana yang disediakan dan jumlah medali yang dapat dibawa pulang.
Masih tentang dana, sejak Maret 2016, bagi atlet yang masuk pelatda persiapan PON disediakan Rp 3,5 juta per atlet per bulan, Dari jumlah tersebut, Rp 1,4 juta adalah uang saku dan sisanya Rp 2,1 juta untuk makan, sewa kamar, dan kebutuhan dasar seharihari. Menurut saya, jumlah ini kurang masuk akal mengingat kebutuhan gizi atlet merupakan syarat utama tampil prima.
Bila menggunakan standar kebutuhan gizi cukup, setidaknya per hari diperlukan dana sebesar Rp 90 ribu untuk tiga kali makan. Berarti dalam satu bulan diperlukan sekitar Rp 2,7 juta, belum termasuk biaya untuk memenuhi kebutuhan suplemen lain. Sungguh dapat dimaklumi bila kemudian pada periode kompetisi banyak atlet yang bertumbangan.
Sumber : suaramerdeka.com