FH.UNNES.AC.ID – Semarang, Pandangan 4 pakar hukum terkait potensi korupsi kebijakan hukum di saat pandemi disampaikan dalam acara Webinar melalui aplikasi zoom yang diselenggarakan Pusat Kajian Pendidikan Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Kamis (14/5).
4 pakar hukum yang dihadirkan sebagai narasumber yakni Prof Dr Hibnu Nugroho SH MH selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Dr Bernard L Tanya SH MH selaku Dosen Fakultas Hukum di Universitas Nusa Cendana, Gandjar Laksmana Bonaparta SH MH selaku Dosen Fakultas Hukum di Universitas Indonesia dan Dr Indah Sri Utari SH MHum selaku Ketua Pusat Kajian Pendidikan Anti Korupsi FH UNNES.
Prof Dr Hibnu Nugroho SH MH menyampaikan dalam pemaparannya bahwa pemerintah Indonesia dalam penanganan Covid-19 menggelontorkan dana sangat besar yakni dikisaran Rp 401 Triliun. Menurutnya dengan besarnya dana tersebut tentunya selalu ada potensi penyelewangan. Dan penyelengawan tersebut, menurut Prof Hibnu mengikuti kearah mana dana mengalir.
Prof Hibnu menambahkan 4 point krusial perlu diawasi yang berpotensi disalahgunakan diantaranya pertama pengadaan barang dan jasa, kedua pengalokasian APBN dan APBD, ketiga pemberian sumbangan dari pihak ketiga, dan keempat pendistribusian bantuan sosial.
Menurut Prof Hibnu permasalahan yang sudah nampak sekarang ini adalah penyaluran dana bantuan sosial (Bansos) yang ditengarai diwarnai banyak carut marut sehingga berpotensi menimbulkan kerugian. Gelontoran dana dari pemerintah yang sangat besar menyebabkan carut marut permasalahan bansos diprediksi akan menimbulkan kerugian yang fantastis. Data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang diandalkan menjadi pegangan untuk penyaluran dana tersebut ternyata masih belum sempurna sehingga kebocoran masih terjadi.
6 sebab mengapa pengelolaan kebijakan bencana selalu mengundang orang untuk mencurigai.
Pakar filsafat Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Dr Bernard L Tanya mengutarakan 6 sebab mengapa pengelolaan kebijakan bencana selalu mengundang orang untuk mencurigai. Menurutnya Pertama, bencana itu berkarakter, jadi bencana dengan datang tiba tiba dan melebar/meluas sehingga selalu ada masalah soal ketidaksiapan dalam segala segi termasuk ketidaksempurnaan kebijakan yang diambil. Black hole karena ketidaksempurnaan itu bisa menjadi peluang korupsi bagi mereka yang berniat jahat.
Kedua, bencana apapun termasuk covid-19 ini tidak mengenal protokol dan tidak mengenal dasar hukum. Tidak peduli, tidak punya protokol atau tidak virus corona terus akan memakan korban kalau kita tidak mengambil tindakan secepat mungkin. Karena itu tindakan-tindakan darurat selalu berada didepan dari aturan atau prosedur keadaan normal.
Ketiga, keadaan darurat menuntut prioritas penanganan masalah dan tentu saja kompleks dan begitu dinamis sehingga aspek-aspek prosedur dan aturan kadang harus disesuaikan dengan dinamika faktual yang begitu cepat dilapangan. Proses penyesuaian ini bisa saja membuka ruang korupsi.
Keempat, kedaruratan menuntut kecepatan dan ketepatan mengambil kebijakan atau keputusan sehingga kadang butuh saluran non-konvensional dan non-birokratis yang simpel. Implikasinya butuh ruang diskresi yang cukup riskan. Mengacu pada, Klitgaard korupsi akan terjadi apabila monopoli kewenangan serta diskresi yang luas tidak disertai dengan kontrol yang memadai, akuntabilitas dan transparansi.
Kelima, kondisi bencana menuntut atau berikut dampat eksesif-nya menuntut kerja yang simultan dan taktis menuntut adanya ruang yang agak fleksibel lebih besar. Ini menyebabkan kebijakan menangani bencana darurat berwatak rasae pericolo menyerempet bahaya. Dan para pemangku kebijakan berada pada kondisi vivere pericoloso. Pihak pengambil kebijakan melalui Perpu No 1 memang meminta jaminan perlindungan hukum pidana dan perdata. Yang tidak terlhat dalam Perpu itu adalah sisi hitam dari rasae pericolo itu yaitu peluang korupsi karena tidak diaturnya perangkat kontrol yang ketat untuk menjamin bahwa langkah-langkah diskresional memang adalah sebuah diskresi dan bukan kesempatan dalam kesempitan.
Kontrol ala perpu hanya muncul dalam phrase dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik, dilakukan dengan itikad baik atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Padahal kita ketahui bahwa kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk kesalahan dan penyelewengan yang semakin berat. Lagi pula, kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan dirinya juga berkali-kali lebih besar dari kemampuanya untuk mengerti dirinya sendiri. Dan kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat dari pada kemampuanya untuk membatasi diri.
Keenam, kejadian bencana akan selalu diikuti dengan bantuan atau donasi. Ketidakrapihan pengelolaan donasi tersebut akan menjadi peluang bagi banyak pihak melakukan penyelewengan. Bercermin pada rentetan bencana yang lalu-lalu, entah itu Aceh, Jogja, Mataram, ataupun palu hampir nyaris semuanya berbentut korupsi.
Oleh karena itu, hemat saya dalam menilai potensi korupsi menyangkut kebijakan bencana perlu dipastikan beberapa hal, apakah dalam perumusan kebijakan terdapat jejaring yang memainkan kepentingannya biasanya mereka adalah perumus kebijakan. Tesis saya, dalam konteks bencana seluruh peraturan dan kebijakan yang diambil harus diarahkan pada penyelesaian masalah berikut dampaknya diberbagai bidang dan lepas dari sejumlah kelemahan yang terdapat dalam Perpu No 1 secara over all materi Perpu No 1 mengarah pada menjawab kebutuhan pidana.
Kebijakan Hukum di Masa Pandemi Covid-19 dan Potensi Korupsi Dalam Perspektif Pencegahan.
Dr Indah Sri Utari menyampaikan dalam paparanya bahwa pencegahan potensi korupsi pada masa pandemi Covid-19 saat ini, kita tidak terlalu bersandar pada misalnya Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, tidak juga pada Surat Edara No 3 Tahun 2020 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah Ri Tentang Tentang Penjelasan Atas Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) atau aturan lain-lainya yang terkait kebijakan dalam penanganan Covid-19.
Menurut Dr Indah Sri Utari, persoalan korupsi persoalan bangsa & “masalah korupsi” pada dasarnya bukan hanya masalah hukum, tetapi karakter. Hanya mengandalkan hukum untuk mengatasi korupsi tidak akan nyelesaikan masalah. Aturan sebenarnya dibuat hanya untuk ultimum remedium (Chandra Hamzah).
Sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap Orde , korupsi tetap lestari. Penyempurnaan terhadap UU No. 3/1971 melalui UU No. 31/1999 yang juga telah direvisi melalui UU No. 20/2001, nyaris tidak membawa perubahan apa-apa. Justru dalam orde yang berideologi anti KKN inilah, terjadi “demokratisasi korupsi” yang sangat intens dengan nilai kebocoran yang juga sangat fantastis dalam sejarah republik.
Banyak faktor, yang menjadi penyebab diantaranya “toleransi terhadap korupsi”. Lebih banyak wicara dan upacara ketimbang aksi. Ancaman hukuman dalam UU tidak lebih hanya diberi fungsi pasif, dengan sedikit sekali diterapkan secara riil. Dan karakter manusia merupakan hal mendasar yang perlu mendapat perhatian.
” Sayangnya pendidikan di Indonesia belum menghasilkan karakter individu yang jauh dari perilaku korupsi” (Penulis Robertus Belarminus-Media Kompas).
Menurut Dr Indah Sri Utari ada 4 strategi pemberantasan korupsi dalam upaya pencegahan yakni strategi perbaikan sistem, penindakan, pendidikan dan partisipasi publik.
Dalam situasi apapun, transparansi dan akuntabiltas merpakan syarat mutlak. Terlebih dalam penanganan wabah Covid – 19 ini pemerintah mengalokasikan dana sebanyak 405 Triliun.
Ginanjar Laksamana Bonarprapta (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Pandangan ini disampaikan oleh Ginanjar Laksaman Bonarprapta Anggota Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ginanjar sebagai narasumber terakhir. Menurutnya pelaku yang bisa dijerat pertama setiap orang, berpotensi dijerat dengan Ps. 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 31/1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, baik sendiri maupun bersama dengan orang lain yang terlibat, kedua pejabat, berpotensi dijerat dengan Ps. 3 UU No. 31/1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, baik sendiri maupun bersama orang lain (bukan pejabat) yang terlibat.
Video Seminar Online selengkapnya bisa di lihat di channel FH UNNES disini.