TRAGEDI kerusuhan di Rumah Tahanan Negara Mako Brimob Kelapa Dua Depok pada Selasa malam (8/5/2018) merupakan kejadian memilukan. Menkopolhukam Wiranto menuturkan ada 155 orang narapidana terorisme yang terlibat dan menguasai senjata sitaan dari aparat keamanan (SM, 10/5/2018).
Perhatian publik tercengang ketika mendengar kabar, ada lima anggota Polri menjadi korban, dan satu anggota disandera, walaupun akhirnya dapat bebas dengan ditukar makanan. Rakyat kembali dihebohkan ketika media menceritakan bahwa kondisi kelima korban dibunuh dengan sangat sadis. Terlintas dalam benak publik, bahwa ini seperti kejadian PKI di lubang buaya.
Kejahatan yang berhubungan dengan perjuangan penggantian ideologi, kerap membuat pelakunya bertindak brutal dan mengesampingkan sisi-sisi kemanusiaan. Rasa humanisme hilang, dan yang ada dalam dirinya adalah perasaan ingin menang, menumbangkan ideologi yang sedang bercokol, terhadap siapa pun yang merintanginya, akan dibunuh dengan cara di luar batas-batas kemanusiaan.
Sejarah para eksekutor pada peristiwa G/30S/PKI yang menginginkan penggantian ideologi Pancasila dengan Komunis juga demikian sangat kejam. Masih melekat dalam ingatan masyarakat kejadian 11 Februari 2018 di salah satu geraja Yogyakarta, seseorang menyerang pendeta yang sedang khotbah, dengan alasan jihad. Sehingga apa yang terjadi di Rutan Mako Brimob, ada ratusan napi terorisme, merupakan kejadian yang harusnya sudah dapat diantisipasi.
Mengapa polisi diserang, karena polisi merupakan garda terdepan penumpasan gerakan terorisme, sehingga dianggap penghalang tingkat satu terhadap perjuangan penggantian ideologi negara. Terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) karena korban dapat bersifat massal, ketakutan meluas dapat terjadi sebagai akibat aksi teror. Kejahatan terorisme juga ibarat virus, artinya dapat menyebar kesiapa saja, karena ada model cuci otak dalam perekrutan teroris-teroris baru. Selain faktor perbuatannya (actus reus) yang luar biasa, pelaku terorisme ini juga berbeda dari pelaku kejahatan lain pada umumnya.
Manusia Normal
Jika dilihat dari tujuan pemidanaan, era sekarang bukan lagi membuat pelaku kejahatan jera semata, akan tetapi juga harus sembuh dan dapat menjadi manusia normal kembali. Pelaku terorisme yang dalam pikiran dan hatinya sudah salah memahami teks-teks agama, harus diluruskan sehingga tidak liar dan terus-terusan terjebak dalam salah tafsir tersebut.
Upaya itu dapat dilakukan dengan deradikalisasi. Artinya menjadikan pikiran yang tadinya radikal menjadi lunak, dan tidak radikal. Mengembalikan sisi kemanusiaan, memahami agama secara tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan taadul (adil). Deradikalisasi telah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, hal ini terlihat dengan adanya bagian dalam badan tersebut yang menangani deradikalisasi. Setiap provinsi juga telah terbentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang aktif melakukan penyadaran terhadap napi terorisme ataupun masyarakat luas akan bahaya terorisme.
Akan tetapi deradikalisasi yang dilakukan terhadap teroris, hanya dilakukan ketika menjadi narapidana, artinya sudah berada di lembaga pemasyarakatan. Untuk pelaku teror yang masih dalam status tahanan, belum ada kekuatan hukum tetap, belum maksimal proses deradikalisasinya.
Oleh karena itu penting melakukan deradikalisasi sejak dini, mulai pelaku terorisme ditangkap. Sehingga dalam keseharian dalam tahanan, dan menjalani masamasa sidang, tidak sekadar menunggu dan melakukan rutinitas biasa, akan tetapi sudah ada program deradikalisasi yang disusun bersamaan waktu menjalani sidang. Deradikalisasi sejak dini sangat penting melibatkan tokoh-tokoh yang memahami betul agama sebagai jalan damai dan tidak menyukai kekerasa. Agama disebarkan juga dengan jalan damai. Agama mengajarkan, jika tidak diserang duluan maka tidak boleh menyerang. Indonesia merupakan negara Pancasila yang tidak menghalangi sedikit pun ritual ibadah yang dilakukan semua agama yang diakui.
Masyarakat bebas menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Konsepsi negara Pancasila ini sudah sangat sesuai dengan ajaran Islam, bahkan Rasulullah SAW juga telah mencontohkan dalam Piagam Madinah. Pemahaman-pemahaman tersebut perlu dilakukan terhadap pelaku teror. Mereka juga merupakan korban cuci otak, oleh karena itu selain pendekatan pidana, maka pengembalian kewarasan berpikir para pelaku teror sangat penting dilakukan. (34)
— Muhammad Azil Maskur, Sekretaris Pusat Studi Radikalisme dan Terorisme Fakultas Hukum UNNES, Wakil Sekretaris PW GPAnsor Jateng
sumber: suaramerdeka